retorikabanua.id,BARABAI- Warga Dayak Meratus di Desa Labuhan, Kecamatan Batang Alai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) merampungkan pembangunan pura pertama umat Hindu yang diberi nama Pura Agung Datu Magintir.
“Di dalam pura itu juga dibangun Kori Agung dengan menggunakan nama menurut suku Dayak, yaitu Pandungkulan,” kata Ketua Panitia Pembangunan Pura Agung Datu Magintir yang juga Kepala Adat Desa Labuhan, Suan, Selasa (24/11).
Padungkulan tersebu dibangun menggunakan patung Balian. Balian adalah tokoh spiritual warga Dayak. Penggunaan patung tersebut merupakan simbol penghormatan kepada ajaran peninggalan leluhur suku Dayak.
Ia menjelaskan Pandungkulan adalah tempat yang sangat sakral untuk berserah diri jiwa dan raga kepada Nining Bahatara/Sang Hyang Widhi dan para leluhur. Mereka yakin bahwa semua kesalahan/dosa yang dilakukan baik dari pemikiran, perkataan dan perbuatan.
“Mendungkul dilakukan dengan cara menggenggam kedua tangan dengan lima jari tangkup jadi 10, 11 dengan mata hati, 12 dengan ubun-ubun, 13 dengan panuturan. Posisi kedua tangan di atas ubun-ubun. Pandungkulan ini pertama kali dibangun di Indonesia,” katanya
Kenapa mamakai konsep patung Balian Tuha dan Juru Patati? Suan menjelaskan, pada zaman dahulu satu-satunya Balian sangat diagungkan adalah Balian Ranggan Laki Bini (suami dan istri). Ini merupakan simbol dari Balian Tua dan Juru Patati.
“Kalau di agama Hindu merupakan perwujudan dari Dewa Siwa dan Dewi Parwati,” ujarnya.
Selain itu, juga dibangun Taruna Halang Balianan/Burung Elang yang berada di atas Pandungkulan dan Papan Baruwing yang berada di pagar Pandungkulan.
“Taruna Halang Balianan menurut kepercayaan suku Dayak adalah Tunggangan Balian apabila mau naik ke langit ke 7 atau Swarga Loka. Pada saat hilang jalan, kemudian turunlah Taruna Halang Balianan yang dipakai sebagai tunggangan untuk mencapai tujuan,” ucapnya.
Selanjutnya, Papan Baruwing yakni tempat/perahu/sarana untuk menghantarkan orang/sesajen ke tempat siapa yang dituju. Seperti kepada Nining Bahatara/Sang Hyang Widhi dan para lelulur.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) HST Irpani menambahkan, pura ini tentu sangat membanggakan umat Hindu yang bersuku Dayak Kaharingan, khususnya masyarakat Desa Labuhan.
“Mereka saat ini sudah mempunyai tempat yang nantinya bisa digunakan untuk beribadah dan pusat kegiatan keagamaan bagi umat Hindu di HST,” ujarnya.
Irpani menerangkan, ke depan Pura Agung Datu Magintir akan menjadi aset cagar budaya dan tempat wisata religi bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
“Tentu kebanggaan tersebut bisa dicapai karena ada doa dan uluran tangan umat se-Dharma di Nusantara. Para donatur yang dermawan dan para pihak yang telah berkonstribusi penuh untuk terselenggaranya pembangunan pura. Baik bantuan uang, tenaga, pemikiran dan doa,” pungkasnya. (*)