Senin, 7 Oktober 2024
BerandaKALSELBANJARMASINKebebasan Pers Kalsel Membaik, AJI Beri Sederet Catatan Kritis

Kebebasan Pers Kalsel Membaik, AJI Beri Sederet Catatan Kritis

BANJARMASIN – Dewan Pers bersama Sucofindo merilis hasil Indeks Kebebasan Pers (IKP) 2021 di Indonesia. Dari catatan, Kalimantan Selatan mendapat skor 81,64 atau lebih tinggi dari IKP Nasional sebesar 76,02.

Nilai IKP yang diterima Kalsel naik 1,75 poin dari 78,89 pada tahun ini menjadi 81,64.

Capaian itu membawa provinsi ini masuk lima besar daerah dengan IKP tertinggi di Indonesia, di atas Kalimantan Tengah (81,53), dan dua tingkat di bawah Kaltim (82,27).

Adapun Kepulauan Riau dan Jawa Barat menjadi dua daerah dengan IKP tertinggi di Indonesia, masing-masing 88,30, dan 82,66.

Dalam catatan Dewan Pers, IKP Kalsel terus membaik dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran, angka tahun ini naik dari IKP Kalsel 2020 sebesar 78,89 atau peringkat 8 nasional.

IKP diukur dari kondisi lingkungan fisik dan politik, termasuk lingkungan ekonomi dan lingkungan hukum.

Survei IKP tahun ini dilakukan Sucofindo sejak 25 Februari 2021 lalu. Sejak itu, para surveyor lembaga survei tersebut mewawancarai satu per satu informan ahli.

Komposisi informan ahli, 74 persen pengurus aktif organisasi wartawan, 76 persen pimpinan perusahaan pers, 82 persen unsur pemerintah, dan 76 persen unsur masyarakat.

Hasil wawancara dan pengisian kuisioner oleh surveyor terhadap informan ahli di Kalsel kemudian dibawa ke meja Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Aston Banua, Selasa 27 April 2021.

Hadir para informan ahli dari perwakilan AJI, PWI, IJTI, Humas Pemprov Kalsel, Humas Pemkot Banjarbaru, Humas Polda Kalsel, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah, 3 perwakilan pimpinan media massa, dan dua pemerhati media dari Fakultas Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat, dan Institut Agama Islam Darussalam.

Wakil Ketua Dewan Pers Hendry CH Bangun mengatakan, survei IKP untuk memetakan dan memantau perkembangan pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia.

“Sehingga bisa diidentifikasi persoalan-persoalan yang menghambat pelaksanaan kemerdekaan pers untuk dilakukan perbaikan-perbaikan,” jelas Hendry.

Penyusunan IKP juga dimaksudkan untuk memberi kontribusi bagi peningkatan kesadaran publik akan kemerdekaan pers. Serta menyediakan bahan-bahan kajian empiris bagi upaya advokasi kemerdekaan pers di Indonesia.

Koordinator Divisi Advokasi AJI Balikpapan Fariz Fadhillah memberikan sejumlah catatan terhadap hasil IKP yang dirilis Dewan Pers dan Sucofindo.

Ia mempertanyakan skor IKP Kalsel yang justru meningkat di tengah suburnya kasus kekerasan hingga kriminalisasi terhadap jurnalis.

“Membaiknya IKP Kalsel patut diapresiasi. Namun yang menjadi pertanyaan, IKP Kalsel justru naik di tengah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang masih terjadi,” ujarnya.

Sejak tahun 2019, AJI mencatat tren kasus kekerasan terhadap jurnalis di Kalimantan Selatan terus terjadi.

November 2019, misalnya, seorang jurnalis media lokal bernama Diananta Putera Sumedi dipolisikan Sukirman yang tak lain adalah narasumbernya sendiri.

Akhir Februari 2020, Dewan Pers menyatakan berita Diananta “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” adalah produk jurnalistik. Artinya, kasus pers tersebut selesai lewat mekanisme hak jawab.

Kendati demikian, polisi tetap menyidik kasus Diananta karena tuduhan ujaran kebencian. Ia kemudian ditahan pihak kepolisian, pada 4 Mei 2020 atau sehari setelah Hari Kebebasan Pers Internasional.

Diananta pun divonis 3 bulan 15 hari kurungan penjara karena dianggap melanggar Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

“Naiknya IKP pada 2020 membuktikan kekuatiran Dewan Pers terhadap vonis Diananta berdampak pada merosotnya indeks kebebasan pers dan demokrasi tidak terbukti,” ujar informan ahli dari Kalimantan Selatan saat National Assesment Council (NAC) Penyusunan IKP 2021 itu.

Beranjak dari kasus Diananta, kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi pada akhir 2020.

Pada 22 November 2020, seorang jurnalis lokal di salah satu kabupaten di Kalsel dijemput oleh empat orang dari kediamannya, lantaran merekam pernyataan salah seorang calon bupati.

Belakangan, diketahui sejumlah orang yang menjemput jurnalis tersebut berasal dari tim calon bupati lainnya.

Dalam interogasi, jurnalis tersebut diminta untuk menjadi saksi kunci untuk menjatuhkan pihak lawan lewat pernyataan yang direkamnya kemudian diunggah ke akun media sosial itu.

“IKP 2021 naik saat kasus initimidasi terhadap jurnalis masih terjadi,” ujarnya.

Sementara itu, pada aspek ekonomi, Fariz juga mengingatkan bahwa jurnalis Kalsel masih banyak menerima upah murah dari media tempat mereka bekerja.

Sebagai gambaran, AJI Balikpapan bersama pengurus biro di Kota Banjarmasin menemukan sejumlah jurnalis yang gajinya jauh di bawah standar Upah Minimum Provinsi (UMP) Provinsi Kalsel yang nilainya Rp 2,8 juta.

“Alih-alih mencapai UMP, AJI masih menemukan ada jurnalis yang digaji Rp 1,5 juta, Rp 1 juta, Rp 750 ribu, sampai Rp 500 ribu,” ujar Fariz.

Fakta demikian tentu saja membuat jurnalis tidak memiliki kepastian hidup layak. Yang berpotensi menggerus profesionalitas dan independensi mereka melayani kepentingan publik.

Praktik perbudakan terselubung di tengah menjamurnya media daring tersebut harus segera dihentikan.

“Kalsel memiliki lebih dari 100 perusahaan media massa. Namun bisa dihitung jari perusahaan yang menggaji jurnalis mereka secara layak,” tegasnya.

Setali tiga uang, AJI menemukan perusahaan media yang belum memberikan jaminan ketenagakerjaan, maupun kesehatan.

Ketidaklayakan upah berpotensi melahirkan pelanggaran etik hingga rendahnya kualitas pemberitaan. (syl)

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI